Sunyi yang Tak Pernah Benar-Benar Sunyi
Tidak ada yang benar-benar siap menghadapi sorotan publik. Bahkan bagi mereka yang sudah hidup di bawahnya selama bertahun-tahun, cahaya kamera tetap bisa terasa menyilaukan. Di dunia di mana setiap gestur dibedah, setiap diam ditafsir, dan setiap senyum bisa berubah jadi headline, cinta bukan lagi perkara dua hati—melainkan konsumsi massa.
Itulah yang kini dialami Raisa Andriana dan Hamish Daud. Pasangan yang dulu disebut-sebut sebagai “ikon cinta ideal” itu, pada akhirnya mengumumkan bahwa mereka sepakat berpisah. Sebuah keputusan yang sederhana dalam bentuk, tapi rumit dalam rasa.
Pada 26 Oktober 2025, melalui unggahan di Instagram, mereka menyatakan telah “melewati banyak pertimbangan dan pemikiran panjang” sebelum akhirnya memilih jalan masing-masing. Dalam kalimat yang tenang dan terukur, Raisa dan Hamish menulis bahwa mereka tidak menyerah mereka hanya berusaha bijaksana.
Kata “bijaksana” itu menggema. Di antara ratusan ribu komentar, di antara tajuk berita yang seolah menunggu kata “cerai” muncul, kata itu terasa seperti benteng terakhir dari kedewasaan yang mereka pertahankan di tengah badai publik.
Ketika Cinta Menjadi Kepemilikan Publik
Raisa dan Hamish tidak sedang sendirian. Setiap kali seorang publik figur jatuh cinta, menikah, lalu berpisah, cerita mereka segera berpindah tangan dari pribadi menjadi milik umum.
Kisah cinta yang dulu hanya diketahui oleh dua orang kini dipecah-pecah oleh warganet. Disulut oleh algoritma, dibentuk oleh opini, dan disebarkan oleh rasa ingin tahu yang dibungkus dengan kalimat: “Kita cuma peduli.”
Padahal kepedulian yang terlalu bising sering kali justru terdengar seperti perampasan. Perampasan terhadap hak paling dasar seorang manusia: hak untuk merasa dalam diam.
Dalam kasus Raisa dan Hamish, publik bukan hanya menebak penyebab perpisahan mereka. Mereka menggali, menghakimi, menafsirkan, hingga mengaitkan ulang setiap postingan, setiap tatapan di acara publik, bahkan setiap jeda di antara kata-kata mereka.
Seolah-olah cinta dua manusia ini adalah film bersambung yang bisa diulas tanpa izin.
Seseorang di Twitter menulis: “Sayang banget, padahal mereka pasangan goals.”
Yang lain membalas: “Pasti karena karier Raisa lebih tinggi, Hamish gak tahan.”
Komentar lain menambah: “Tuh kan, Raisa terlalu sibuk manggung, lupa jadi istri.”
Tak ada satu pun dari mereka yang tahu kebenaran. Tapi itu tidak menghentikan jari-jarinya mengetik. Karena di zaman ini, yang paling cepat mengetik sering kali dianggap paling tahu.
Di Balik Gambar yang Hilang
Isu keretakan rumah tangga Raisa dan Hamish mulai merebak beberapa hari sebelum pernyataan resmi mereka. Awalnya, warganet menyadari bahwa foto perayaan ulang tahun pernikahan mereka telah hilang dari akun Instagram Hamish. Dalam hitungan jam, media gosip mulai memuat berita: “Sinyal Keretakan Rumah Tangga Raisa-Hamish?”
Dari sana, kabar bergulir cepat. Setiap unggahan diartikan sebagai pesan tersembunyi. Setiap ketidakhadiran di acara publik dianggap konfirmasi. Publik seakan lupa bahwa kadang-kadang, orang hanya ingin diam.
Ketika gugatan cerai Raisa terdaftar di Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada 22 Oktober 2025, semua teori itu seolah mendapat “pembenaran”. Tapi kebenaran yang ditemukan dengan cara mengintip, benarkah bisa disebut kebenaran?
Sidang perdana dijadwalkan pada 3 November 2025. Namun, bahkan sebelum sidang pertama dimulai, publik sudah membuat vonis sendiri. Raisa dianggap terlalu kuat, terlalu mandiri, terlalu sibuk. Hamish dianggap terlalu tradisional, terlalu menuntut. Semua terlalu.
Dan di tengah semua “terlalu” itu, dua manusia yang dulu saling mencintai kini harus berhadapan dengan kebisingan yang mereka tak ciptakan.
Diam yang Paling Nyaring
Ketika akhirnya Raisa dan Hamish berbicara, nada mereka lembut. Tak ada tudingan, tak ada air mata di depan kamera, tak ada drama yang sengaja dijual. Hanya kata-kata sederhana: mereka ingin tetap jadi orang tua terbaik bagi anak mereka, Zalina.
Di dunia di mana setiap perpisahan selebritas biasanya dibarengi dengan gosip panas dan wawancara eksklusif, sikap mereka terasa asing—tapi justru menenangkan.
Mereka memilih diam, bukan karena kalah, melainkan karena ingin tetap waras. Mereka tahu bahwa setiap kata bisa dipelintir, setiap air mata bisa dijual, setiap keheningan bisa disalahartikan. Tapi mereka memilih diam, karena diam adalah satu-satunya cara untuk tetap punya ruang pribadi di tengah publik yang bising.
Raisa dan Hamish tak sedang berusaha jadi contoh. Mereka hanya berusaha jadi manusia.
Mereka yang Merampas
Namun, di balik semua itu, ada pertanyaan yang lebih besar: siapa yang sebenarnya salah?
Apakah media yang menulis karena “itu tugas kami”?
Apakah warganet yang membahas karena “kami hanya ingin tahu”?
Ataukah kita semua yang diam-diam menikmati setiap detail kejatuhan orang lain karena itu membuat hidup kita terasa lebih normal?
Kita hidup di era di mana rasa ingin tahu telah bergeser menjadi bentuk baru dari kekuasaan. Kita memotret, mengomentari, mengarsipkan hidup orang lain, tanpa menyadari bahwa yang kita rampas bukan hanya privasi, tapi kemanusiaan mereka.
Kita menatap mereka jatuh, lalu berkata, “Kasihan.”
Kita membagikan kisah mereka, lalu menulis, “Semoga kuat ya.”
Tapi di antara kata-kata simpati itu, tersembunyi kenikmatan halus: rasa puas karena tahu bahwa mereka yang tampak sempurna ternyata juga bisa rapuh.
Dan itulah sisi tergelap dari budaya publik hari ini: kita tidak hanya menonton, kita ikut merampas.
Mereka yang Diam
Mungkin itulah mengapa Raisa dan Hamish memilih diam. Karena dalam diam, mereka bisa kembali menjadi manusia biasa.
Di luar layar, mungkin Raisa sedang menenangkan anaknya yang bertanya, “Kenapa papa gak di rumah?”
Di luar sorotan, mungkin Hamish sedang mencoba menata ulang hidupnya tanpa harus membuktikan apa pun kepada dunia.
Mereka tidak lagi perlu menjelaskan siapa yang salah atau siapa yang pergi. Karena dalam setiap perpisahan, tidak selalu ada pihak yang harus kalah. Kadang, hanya ada dua orang yang mencoba bertahan terlalu lama di dunia yang tak memberi ruang untuk bernapas.
Dan bagi mereka, diam bukan tanda menyerah—melainkan bentuk terakhir dari keberanian.
Sisi Gelap yang Kita Ciptakan
Kisah Raisa dan Hamish bukan sekadar kisah perceraian artis. Ia adalah cermin dari budaya kita yang semakin kehilangan empati.
Kita mencintai idola kita bukan karena mereka manusia, tapi karena mereka citra. Begitu citra itu retak, kita merasa berhak untuk mengupasnya habis-habisan.
Kita ingin tahu apa yang terjadi, siapa yang salah, dan kenapa mereka gagal. Kita lupa bahwa kegagalan juga bagian dari hidup yang pantas dihormati.
Media sosial telah mengubah cara kita mencintai dan membenci. Ia memberi ruang bagi keterlibatan, tapi juga membuka jalan bagi penghakiman massal. Di antara dua ekstrem itu, manusia-manusia seperti Raisa dan Hamish menjadi korban: disanjung saat bahagia, diserbu saat terluka.
Dan kita, penonton yang merasa tak bersalah, menjadi bagian dari lingkaran itu—lingkaran yang terus menelan kemanusiaan atas nama rasa ingin tahu.
Siapa yang Sebenarnya Perlu Belajar Bijaksana?
Raisa dan Hamish menutup pernyataan mereka dengan kalimat, “Kami tidak menyerah, kami berusaha bijaksana.”
Tapi mungkin, bukan mereka yang perlu belajar bijaksana.
Mungkin kita.
Kita yang dengan mudah memuja dan mencela.
Kita yang menonton kisah hidup orang lain seperti serial yang tak ada akhirnya.
Kita yang lupa bahwa di balik setiap nama besar, ada jantung yang berdetak, ada anak kecil yang menunggu kepulangan orang tuanya, ada air mata yang sengaja tak ditampilkan.
“Mereka yang merampas” bukan hanya paparazzi atau akun gosip. Tapi juga setiap dari kita yang menekan tombol share tanpa berpikir.
Dan “mereka yang diam” bukan hanya Raisa dan Hamish—melainkan semua orang yang pernah dipaksa menjelaskan luka mereka kepada dunia yang hanya ingin tahu, bukan memahami.
Di Antara Cinta, Publik, dan Keheningan
Cinta, pada akhirnya, adalah urusan dua orang. Tapi di dunia modern, cinta selalu jadi urusan banyak mata.
Raisa dan Hamish hanyalah dua nama dari banyak pasangan yang pernah dicintai, disanjung, lalu dipertanyakan oleh publik yang tak kenal lelah.
Namun jika ada pelajaran dari kisah mereka, mungkin itu ini: bahwa kebahagiaan bukan untuk dibuktikan, dan perpisahan bukan untuk dipertontonkan.
Kadang, yang paling berani bukanlah mereka yang bicara lantang—melainkan mereka yang memilih diam di tengah gemuruh dunia.
Dan ketika kita, para penonton, berhenti menebak dan mulai memahami, mungkin di situlah kita benar-benar bisa disebut “bijaksana”.










